Dalam keriuhan pusat perbelanjaan utama di Indonesia, terlihatlah suatu gambaran yang semakin sering muncul: antrian panjang menjorok ke gerai Uniqlo, sedangkan butik-butik tradisional seperi Matahari dan Ramayana mulai meredup daya tariknya.
Sebuah revolusi besar tengah berlangsung — tidak hanya sebatas pergantian gaya fashion, namun juga pergeseran bagaimana masyarakat Indonesia menilai, memutuskan, serta mengakuisisi pakaian.
Merek asal Jepun seperti Uniqlo datang dengan gagasan perniagaan runcit terkini: sederhana, modis, serta cekap. Tanpa hiasan berlebihan atau bunyi promosi yang membanjiri telinga. Namun pada kemudahan tersebutlah, merek ini menyasar preferensi kalangan bandar modern yang mengutamakan fungsi tanpa meninggalkan tampilan elegan.
Sebaliknya, department store tradisional seperti Matahari dan Ramayana berupaya menemukan kembali jalan mereka—bertarung menghadapi lajunya digitalisasi serta pergeseran kebiasaan pembelian masyarakat.
Pertumbuhan Uniqlo: Strategi Tenang tapi Sangar
Menginvasi pasar Indonesia sejak 2013, Uniqlo kini sudah mendirikan lebih dari 70 outlet yang menyebar di berbagai pusat kota besar mulai dari Jakarta, Bandung, Medan, Makassar hingga Balikpapan. Setiap kali membuka cabang baru, merek ini senantiasa menyaksikan animo tinggi dari para penggemarnya, misalnya ketika buka bersamaan dengan grand opening di Grand Batam Mall dan juga Pakuwon Mall Jogja.
Bisnis Uniqlo yang simpel namun efisien: jumlah desain busana terbatas, tetapi persedian barang senantiasa ada.
Mereka meminimalkan risiko overstock dan diskon besar-besaran. Koleksi LifeWear—dengan dominasi warna netral dan potongan simpel—menyasar siapa saja yang menginginkan kenyamanan dan estetika modern.
Mereka tidak sekadar menjual pakaian, melainkan juga gaya hidup minimalis yang praktis. Pendekatan ini telah mengakar erat di kalangan masyarakat perkotaan berpenghasilan sedang, yang sekarang menjadi fondasi dari konsumen ritel modern di Indonesia.
Saat itu di Matahari dan Ramayana…
Matahari sempat menjadi simbol konsumen kalangan menengah di Indonesia. Didirikan pada 1958 dan berkembang pesat selama periode 1990 sampai awal 2000-an, cabangnya dapat dengan mudah ditemui di kebanyakan kota baik besar maupun sedang. Namun masuk ke masa 2020-an, kedudukannya mulai goyah. Perusahaan ini telah menghentikan operasi lebih dari 20 toko dalam dua tahun belakangan; walaupun demikian mereka masih mencatat untung melalui peningkatan efisiensi, tanda bahaya tersebut tidak boleh disepelekan.
Ramayana juga mengalami fenomena serupa. Sebagai ritel populer di kalangan penduduk, Ramayana malahan terperangkap dalam masalah ketika masyarakat beralih ke pasar online untuk membeli pakaian dengan harga terjangkau. Pelanggan setia mereka—terutama karyawan dan keluarga kecil—mulai cenderung pada alternatif yang lebih mudah digunakan.
Meskipun begitu, kedua belah pihak masih tidak mau menyerah. Matahari tengah merancang ide untuk gerai baru yang lebih minimalis dan modis. Sementara itu, Ramayana mencoba berkolaborasi dengan brand lokal serta mempromosikan produk unggulan mereka sendiri.
Namun, tantangan yang dihadapinya cukup jelas: bagaimana melakukan perbaikan tanpa kehilangan basis pelanggan yang sudah tua dan semakin menua tersebut?
Ceruk Pasar: Mengejar atau Dijemput?
Setiap peserta dalam arena ini pada dasarnya mempunyai strategi bisnis dan segmen pasar tersendiri.
Uniqlo menjalankan bisnisnya dengan prinsip fast retailing: memegang kendali penuh atas proses supply chain, mulai dari tahap perancangan sampai pendistribusian produk. Perusahaan ini tidak terlalu fokus pada gaya fashion musiman, melainkan lebih kepada membentuk permintaan pasar melalui desain sederhana dan abadi mereka.
Sasaran Utama Uniqlo adalah kalangan menengah atas di area perkotaan dengan tingkat pendidikan baik, terutama Generasi Milenial dan Generasi Z yang memprioritaskan mutu, kenyamanan, serta imej internasional.
Matahari, sebaliknya, menerapkan konsep departemen store berdasarkan sistem konsinyasi, dimana mayoritas barang datang dari brand luar perusahaan. Dulu metode tersebut cukup efektif karena tidak membebani mereka dengan persediaan, namun saat ini menjadi tantangan akibat kurangnya kefleksiban untuk menyesuaikan diri terhadap trend pasar. Sasaran utama mereka adalah kelompok keluarga golongan tengah di kota-kota besar maupun perkotaan, yang mencari variasi produk serta harga bersaing.
Ramayana cenderung fokus pada format ritel massa dengan harga terjangkau, menargetkan kalangan pekerja dan konsumen perkotaan berpendapatan rendah. Barang-barangnya sebagian besar didapatkan dari Usaha Kecil Menengah (UKM) dalam negeri serta produk-label pribadi, dengan siklus penjualan yang cepat dan kerapkali menggunakan potongan harga signifikan. Di segmen pasar harga rendah, daya kompetisinya kuat; namun demikian, tantangan primer adalah reputasi akan mutu barang dan atmosfer belanja yang sesekali dianggap kurang modern atau out-of-date.
Dunia Digital dan Pertempuran Gaya Hidup
Hadir secara fisikal saja tidaklah mencukupi. Hari ini konsumen menginginkan pengalaman digital yang lancar dan tanpa hambatan. Uniqlo menyadari hal tersebut sejak awal: merekalah yang merilis sebuah aplikasi dengan berbagai fitur unggulan seperti penyesuaian pakaian secara virtual sampai proses pembayaran otomatis.
Pada saat yang sama, Matahari dan Ramayana masih berada di awal proses pembangunan ruang lingkup daring mereka—dan belum benar-benar terintegrasi dengan model belanja hybrid yang menjadi kebiasaan konsumen modern.
Meskipun demikian, Uniqlo masih memiliki ruang untuk diperbaiki. Perusahaannya belum terdaftar sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia, dan mayoritas labanya dikembalikan kepada pemilik utama di Jepang.
Meskipun Matahari (kode emiten: LPPF) dan Ramayana (RALS) adalah perusahaan lokal dengan saham yang dapat dimiliki oleh masyarakat umum. Dalam konteks perekonomian nasional, hal ini menjadi faktor signifikan untuk mempertahankan keseimbangan di antara perkembangan dan kedaulatan usaha dalam negeri.
Apa yang Bisa Diperjuangkan?
Peluang masa depan industri peritel mode di Indonesia tetap terbuka luas. Masyarakat konsumen di negara ini cukup bervariasi, sehingga tak seluruhnya dapat dilayani dengan skema bisnis tunggal. Perusahaan yang paling responsif serta berhasil mengakomodir kebiasaan dan perasaan pelanggan-lah yang kemungkinannya lebih besar untuk bertahan.
Matahari dan Ramayana tetap memiliki peluang — apabila mereka dapat merombak kembali pengalaman berbelanja menjadi sesuatu yang lebih relevan, membawa unsur lokal ke dalam tampilan kontemporer, serta menyatukan ranah fisik dan digital secara halus.
Uniklo perlu berhati-hati dalam mempertahankan kekinianannya, sebab pelanggan dapat dengan mudah merasa jenuh akan barang-barang yang terlalu seragam.
Diakhir cerita, perjuangan ini lebih dari sekedar penjualan pakaian. Ini tentang menawarkan suatu pengalaman, mempromosikan nilai-nilai, serta menghadirkan gaya hidup yang sejalan dengan semangat masa kini.
Penulis: Merza Gamal — Ahli dalam Perubahan Bisnis, Pengamat Kebiasaan Konsumsi, Mantan Penyuka Gemerlap Aktivitas Sosial