Wakil Kepolisian Tertinggi: Bentuklah Tim independen Baru untuk Menyelesaikan Kasus Ijazah Jokowi
Warta Bulukumba
– Gosip beredar seperti pisau Tajam, merayapi jejak waktu melalui medsos, pembicaraan sepi jalanan, bahkan sampai gerbang-gerbang otoritas—bisakah kita menafsirkan bahwa Joko Widodo, sang eks-presiden berasal dari lingkungan kampung halaman sederhana Solo dan mengawali perjalanan pemerintahan negaranya, sedang mendirikan warisan dengan fondasi ketidakjujuran? Anggapan tentang dokumen pendidikannya yang dipalsukan serta kabut gelap yang mencekat selama sepuluh tahun kepemimpinannya ini sudah mencetuskan ributan besar.
Mantan Wakil Kepala Kepolisan Republik Indonesia (Wakapolri) untuk tahun 2013-2014, Komjen Pol (Purn) Oegroseno, mengomentari perdebatan seputar tuduhan ijazah palsu yang dialamatkan kepada Jokowi dalam sebuah wawancara dengan channel YouTube milik Abraham Samad Speak Up pada hari Kamis, tanggal 15 Mei 2025.
Pada pertemuan dengan Abraham Samad, Oegroseno menekankan pentingnya membentuk tim mandiri guna memproses perkara tersebut secara jujur dan terbuka. Ia juga menyuarakan keberatannya atas aplikasi UU Informasi dan Transaksi Elektronika (ITE), merasa bahwa aturan itu dipergunakan untuk menjatuhkan tuduhan kepada sebagian kelompok tertentu.
Skandal dugaan kelulusan palsu Joko Widodo kembali muncul menyusul laporan dari Grup Pendukung Ulama dan Aktivis (GPA), yang diurus oleh Direktorat Tindak Pidana Khusus Polri.
Sebagai tanggapan, Jokowi mengajukan laporan kembali terhadap para pengadu, seperti ahli TI Rismon Sianipar dan Roy Suryo, kepada Polda Metro Jaya atas dugaan pencemaran nama baik serta pelanggaran Undang-Undang Informasi Teknologi dan Elektronik.
Oegroseno mengkritik perbedaan dalam kecepatan penanganan laporan, dimana laporan tentang Jokowi ditangani dengan cepat oleh Polda, sedangkan laporan terkait TPUA di Bareskrim berlangsung sangat lambat.
Kritik terhadap prosedur kepolisian
Oegroseno mengkritisi metode forensik yang dijalankan oleh Bareskrim terhadap dokumen keaslian ijazah yang dikirimkan oleh keluarga Jokowi.
Menurut dia, kepolisian seharusnya tidak digunakan sebagai alat legalisasi bagi dokumen autentik; justru mereka ditugaskan untuk menginvestigasi dokumen-dokumen yang dicurigai palsu. Dia berpendapat bahwa analisis forensik saat ini masih dini dan tidak sesuai, lantaran perlu dilakukan komparasi antara dokumen aslinya dengan salinan sah dari instansi terkait, misalnya saja Universitas Gadjah Mada (UGM) atau Komisi Pemilihan Umum (KPU).
“Jika saya memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) yang sah, mengapa perlu dicek secara forensik? Secara logis, dokumen asli ini telah disahkan oleh lembaga resmi. Polri seharusnya menyerizakan dokumen tersebut dari KPU Solo, Jakarta, dan pusat, kemudian membandingkannya dengan dokumen resmi militer Jokowi di UGM,” ungkap Oegroseno.
Dia juga mengecam penerapan undangan klarifikasi tanpa adanya regulasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum AcaraPidana (KUHAP). Baginya, proses penyelidikan seharusnya dimuali denganSurat Perintah MemulainyaPenyidikan (SPDP) berdasarkan laporan kepolisian sah, dan bukannya menggunakanundanganklarifikasi yang tak mempunyai landasan hukum.
Proposisi untuk tim independen serta keadilan restoratif
Oegroseno menganjurkan pembentukan tim bersama peneliti fakta guna memastikan kemerdekaan dan keadilan dalam penyelidikan.
Namun, dia juga mengusulkan untuk menerapkan pendekatan restorative justice sesuai dengan Peraturan Kepolisian No. 8 Tahun 2021.
Metode ini mencakup mengundang seluruh pihak yang bersangkutan, yaitu Jokowi, pengadu, UGM, serta saksi-saksi seperti teman seangkatannya dari Jokowi, untuk berkumpul dan mendiskusikan masalah tersebut di depan publik dalam satu kesempatan.
“Tujuan utamanya bukanlah untuk menjebloskan seseorang ke penjara. Undang seluruh pihak terkait, termasuk para pengung upload Ijasah seperti kader PSI, sang informan, serta Jokowi. Atasi hal ini menggunakan pendekatan restoratif agar kasus tak semakin meluas dan rakyat merasa bahwa proses tersebut adil,” katanya dengan tegas.
Jokowi perlu menunjukkan sifat kepemimpinan yang mulia.
Oegroseno juga menyebut bahwa Jokowi, yang merupakan mantan presiden, harus memperlihatkan sifat kenegaraannya dengan mengupload dokumen pendidikannya di platform media sosial atau menyerahkannya kepada pengadilan negeri di Solo, lokasi dimana tuntutan atas ijazahnya saat ini tengah diproses.
“Jika Jokowi mengunggah langsung ke media sosial, maka perselisihan tersebut akan berakhir,” ujarnya.
Oegroseno menyatakan bahwa penerapan ketentuan-ketentuan Undang-Undang ITE, misalnya Pasal 28, 32, atau 35, pada laporan yang disampaikan oleh Jokowi bertujuan untuk mendiskreditkan hukum dan membatasi suara kritikus seperti Rismon serta Roy Suryo.
Dia menggarisbawahi bahwa Undang-Undang ITE semestinya dipakai untuk menangani tindak pidana dalam transaksi elektronik yang dapat merugikan ekonomi, dan tidak boleh dimanfaatkan sebagai alat pembatasan atas hak berekspresi.
“UU ITE tidak bertujuan untuk menghambat seseorang. Pasal-pasal tersebut sering ditemukan hanya agar orang dapat ditahan. Seperti ini meredam kebebasan berekspresi yang dilindungi oleh Pasal 28E UUD 1945,” katanya.
Dia juga meratifikasi bahwa pengajuan laporan serupa harus datang dari pihak umum, tidak melalui saluran resmi polisi jenis A. Dia berpendapat, hasil penelitian akademik layak seperti karya Rismon dan Roy Suryo mestinya ditolak lewat studi ilmiah lain, bukannya dihadapi dengan pembuatan laporan kepolisian.
Oegroseno menggarisbawahi kepentingan menerapkan prinsip kesetaraan di hadapan hukum dalam menangani kasus tersebut. Dia menyampaikan permohonannya kepada Polri agar tetap netral dan melakukan investigasi dengan keterbukaan serta profesionalisme tanpa adanya pengaruh dari siapa pun.
Dia juga menekankan bahwa masalah tersebut sudah mendapat perhatian global, oleh karena itu, dibutuhkan penanganan yang jujur dan terbuka untuk menjaga citra Indonesia.
“Kepolisian harus tetap netral. Jangan sampai insiden ini mengganggu hak untuk menyampaikan pendapat. Atasi hal tersebut secara adil sehingga publik yakin bahwa hukum dijalankan tanpa bias,” tegasnya.
Kasus ini tetap menjadi perhatian masyarakat, dengan keinginan agar proses penyelesaiannya jelas dan adil bisa menuntaskan perselisihan yang sudah berlangsung lama. ***
Post Comment